Atas Nama Peradaban

Masa kanak-kanak adalah masa dimana manusia mulai membentuk diri. Pembentukan ini akan lebih bermakna ketika sang anak melakukan eksplorasi terhadap seluruh dirinya, tubuh, pikiran, perasaaan, dan pancainderanya termasuk juga mengeksplorasi dunia seluas-luasnya semampu yang ia raih. Berlompatan, berlarian, berteriak, dan segala tindakan lainnya adalah sebuah ekspresia manusia kanak-kanak sejauh adalah ekspresi kegembiaraan, ekspresi yang sebatas pemahamannya adalah ekspresi yang tepat untuk kegembiraan dan atau kekagumannya atas ciptaan Tuhan yang ada pada dirinya dan lingkungannya.

Anak-anak dalam usianya mengeksplorasi diri dan alam semestanya merupakan perwujudan dari seorang peniru yang paling ulung di jagad semesta ini. Apa yang ia lihat, ia dengar, ia rasakan, ia cium, dan ia kecap adalah bernilai tetap, hanya bernilai ya dan tidak, benar dan salah, namun sejauh mana kebenaran itu dapat ia rasakan, dan sejauh mana kesalahan itu dapat ditolelir ia belum sampai ke sana. Anak-anak butuh dua orang yang paling ia percaya, laki-laki dan atau perempuan yang pertama kali ia cintai dimuka bumi ini sebagai pemandunya, menggenggam tangannya erat ketika batas toleransi kesalahan sudah mencapai ke titik nadir, yang mampu menatap kedalaman hatinya melalui matanya bahwa kebenaran yang ia pegang sudah mencapai batas dimana kebenaran itu harus dilepaskan. 

Batasan-batasan, entah itu berkaitan dengan moral, etika, keselamatan, dan banyak hal lainnya tentu harus diterapkan sejak dini. Namun kita terkadang melupakan satu hal penting dalam memberikan batasan-batasan kepada sang anak. Kita lupa menjelaskan mengapa batas itu kita berikan, kita lupa memberikan pemahaman apa konsekuensi logis ketika batasan itu dilanggar, dan kita lupa menanamkan pemahaman bahwa batasan yang kita berikan juga terbatas pada diri kita, pada keluarga kita, pada budaya dimana kita hidup, pada agama yang kita anut yang tentu berbeda dengan batasan-batasan yang diterapkan pada diri orang lain, pada keluarga lain, pada budaya yang lain. 

Kealpaan kita dalam memberikan pemahaman logis tentang batasan-batasan yang kita berikan justru berkembang membentuk sebuah jalan baru bagi anak untuk membuat batasan pada dirinya tidak lagi terbatas. Ia mulai memaksakan batasan yang ada pada dirinya kepada orang lain, pada budaya lain, pada kultur religius yang berbeda dengan dirinya, yang kemudian dapat berkembang kepada kecenderungannya kepada sikap yang intoleran, feodal, dan anarkis. Produk-produk seperti inilah yang kemudian dapat kita rasakan, kita lihat dalam kehidupan saat ini, dimana sebuah bangsa memaksa bangsa lain mengikuti cara hidupnya, dimana penganut faham yang satu menganggap faham yang lain itu hina tak bermoral, anak pribumi didoktrin bahwa non pribumi hanya menumpang di negri ini, dan yang paling menonjol adalah paham dimana kebenaran yang kita pegang dapat dirampas ketika belum mencapai batas hanya dengan uang.

Anak-anak kita paksa menerima bahwa apa yang kita katakan, larangan yang kita berikan, dan anjuran yang kita haruskan adalah sebuah kebenaran tanpa mengajak anak untuk berpikir kenapa, mengapa, dan bagaimana hal itu bisa menjadi sebuah kebenaran. Bagaimana kita menghardik anak yang menangis kencang sementara di belahan dunia lain justru jika anak menangis maka tangisannya harus keras. Bagaimana kita memarahi seorang anak yang membuat berantakan seisi dapur ketika ia mencoba mengekspolari dan mencari makna apa itu dapur. Atau bagaimana ketika kita begitu malunya menceritakan kepada tamu mengapa tembok rumah penuh dengan coretan indah yang dibuat oleh anak kita sendiri. 

Dunia ini milik anak-anak, bukan milik kita. Kita bekerja berpeluh keringat untuk anak-anak. Kita menjaga bumi ini untuk anak-anak. Kita butuh anak-anak untuk mengajari kita arti kegembiraan, kita butuh anak-anak untuk memberi contoh kepada kita bagaimana hidup penuh semangat. Anak-anak selalu bangkit kembali sesaat setelah jatuh, ia tak peduli tatapan sinis orang lain dan cacian orangtuanya yang mengatakan ia ceroboh, ia hanya mencoba bangkit dan merasakan konsekuensi dari apa yang ia kerjakan dan bertanggungjawab akan hal itu, tangisannya juga adalah bentuk sebuah tanggungjawab. Anak-anak hanya mecoba meresapi nikmatnya makanan yang ia kecap hingga timbul suara kecap mulutnya saat makan. Anak-anak hanya berusaha tampil cantik ketika ia memetik bunga di taman dan menyelipkannya di telinga. dan atas nama peradaban, kita orangtua memberi penghakiman bahwa mereka salah tanpa memberikan pemahaman yang utuh. Atas nama peradaban kita menilai budaya oranglain itu rendah. Dan atas nama peradaban dunia ini berperang demi kelangsungan hidup anak-anak mereka. Pertanyaannya peradaban yang mana? siapa peradaban itu, dan siapa yang sungguh memilik adab?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Power of Angka

Media Sosial Vs Spiritual